6/26/2015

Orang-Orang Negro

Judul:  Orang-Orang Negro
Pengarang: Jean Gennet
Penerbit: Aksara Indonesia
Tahun: 2002
Harga: Rp 35.000

Jean Genet adalah salah seorang dramawan besar Prancis yang paling fenomenal. Tak kurang Jean-Paul Sartre, Jean Cocteau, Jancques Derrida, dan Michel Foucault mengakuinya.

"Orang-orang Negro" dimulai dengan sebuah catatan sosiologis kelahiran naskah drama yang dipublikasikan pertama kali pada 1959 dan secara sukses dipentaskan oleh Roger Blin di Teater LutSce: "Suatu malam seorang pemain sandiwara memintaku menulis sebuah lakon yang akan dimainkan oleh orang-orang kulit hitam. Tetapi apa itu hitam? Dan lagi warna apa itu?" (hlm. 5) Dua kalimat terakhir itu, adalah kalimat Kulit Putih yang selalu menutup hidungnya terhadap ras berkulit hitam. Posisi ini diakui sendiri oleh Genet kemudian: "Lakon ini, aku ulangi, ditulis oleh seorang kulit putih, ditujukan kepada penonton kulit putih." Tetapi, tentu saja hal itu menciptakan konflik-konflik baru. Mungkinkan sebuah pementasan kulit hitam ditonton oleh kulit putih?

Pesakitan ini kemudian menggadangkan beberapa jalan: pertama, jika kecil sekali kemungkinannya, maka pada pementasan di depan penonton kulit hitam, seorang kulit putih harus diundang, laki-laki atau perempuan. Penyelenggara tontonan akan menyambutnya secara resmi, memberinya pakaian upacara dan mengantarkannya ke tempat yang paling disukai, di tengah deretan pertama kursi terdepan. Orang-orang bermain untuknya. Di atas orang kulit putih itu secara simbolis sebuah lampu sorot diarahkan padanya selama tontonan berlangsung. Kedua, apabila tidak seorang kulit putih pun menerima pementasan ini, kepada penonton kulit hitam dibagikan topeng-topeng kulit putih di pintu masuk. Ketiga, seandainya orang-orang kulit hitam menolak topeng-topeng itu maka digunakan sebuah boneka.(hlm. 5)

Dari sini tampak jelas sekali, Genet memainkan hitam tidak berhenti kepada sosok Negro. Kehitaman Negro adalah pintu masuk pertama, makna terdekat, untuk kemudian bergulat secara lebih liat dengan kehitaman itu sendiri. Dunia selama ini tersusun dalam interaksi-interaksi oposisi biner yang hirarkis: atas/bawah, hidup/mati, gerak/diam, laki/perempuan, ordinat/subordinat, putih/hitam, di mana kata pertama selalu superior dari kata kedua. Relasi ini oleh Marx dimasukkan dalam kategori kerja yang mengandaikan hubungan manusia dan alam. Kategori ini dibedakan dengan komunikasi yang berjalan di atas rel ekualitas, meskipun seperti yang diakui Marx sendiri dua kategori ini saling bias dan sulit dipilah.

Tampaknya, "Orang-orang Negro" dibangun di atas fondasi dua kategori ini. Genet memulainya dengan afirmasi, pengafirmasian stereotipe Negro oleh orang kulit putih. Terbunuhnya seorang perempuan tua kulit putih oleh seorang Negro dianggap sebagai usaha Holocaust. Sehingga Sang Ratu Kulit Putih bersama pembantunya didampingi Gubernur, Misionaris, Archibald, dan Hakim mendatangi Afrika (gambaran invansi Prancis ke Benua Hitam itu) untuk mengadili seluruh Kulit Hitam.

Kembali kepada Hitam, bagi Genet, adalah pembongkaran dunia-dunia koruptif Kulit Putih. Inilah sebuah dunia dialektik. Sebuah drama. Sebagaimana "uap" ini mempercayai bahwa drama adalah genre yang paling komunikatif.”

TERJUAL

Pelangi Cina di Indonesia

Judul: Pelangi Cina di Indonedia
Pengantar: Prof. Gondomono, Ph.D.
Penerbit: Intisari
Harga: Rp 40.000

Menurut Prof. Gondomono, Ph.D., kelompok Cina di Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen. Jadi, sangat keliru jika selama ini sering kali ada anggapan yang memukul rata kelompok Cina dengan mempergunakan stereotipe yang umumnya berkonotasi buruk. Dalam kenyataannya, seperti semua kelompok etnik di mana pun, di antara kelompok Cina pun ada yang baik dan jahat, yang kasar maupun yang berbudaya, yang mempergunakan uangnya untuk berkolusi dengan pejabat maupun untuk kesejahteraan orang banyak, yang mementingkan kesejahteraan pribadi semata maupun yang mengabdikan hidupnya untuk kepentingan masyarakat sekelilingnya.

Buku ini memang hanya memuat sepuluh orang dari mereka. Di antaranya adalah: Oei Tiong Ham. Selain merupakan orang terkaya di Indonesia pada zamannya, si Raja Gula dari Semarang ini juga merupakan konglomerat pertama di Asia Tenggara. Baginya, uang bukanlah masalah. Tetapi pada kenyataannya, ternyata hidup pria mata keranjang ini tidak sebahagia yang dibayangkan orang.

Mungkin benar seperti kata pepatah: "Tak ada pesta yang tak berakhir". Jika Jawa memiliki Oei Tiong Ham, di Medan ada Tjong A Fie yang tidak kalah terkenalnya dan memiliki kekayaan tak kalah hebohnya. Bahkan fotonya sempat menghiasi mata uang. Kebaikan hatinya tetap menjadi buah bibir masyarakat Medan sampai sekarang ini.

Jika selama ini masyarakat Cina selalu dianggap identik dengan uang, mungkin perilaku dr. Oen Boen Ing dari Solo bisa mematahkan anggapan tersebut. Baginya, menolong pasien merupakan keharusan. Soal si pasien mau bayar ataupun tidak, dia tidak peduli sama sekali.

Sementara itu Steve Liem yang lebih dikenal dengan nama Teguh Karya tidak ragu mengabdikan hidupnya bagi kemajuan dunia teater dan perfilman nasional Indonesia.

Tapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ada saja orang yang sering kali nyeleneh, seperti yang ditunjukkan oleh Oey Tambahsia. Mungkin karena tidak kuat iman menerima warisan yang besar, kelakuan pria "bingung" ini memicu berbagai masalah yang akhirnya sering kali keluar dari tatanan yang berlaku dalam masyarakat. Ternyata semua itu harus dibayarnya dengan mahal.

Di dalam masyarakat seperti sekarang ini di mana keadilan sulit diperoleh, perjuangan yang ditunjukkan oleh Yap Thiam Hien, S.H. alias Singa Tua Pembela Keadilan, mungkin bisa memberi sedikit kelegaan. Mudah-mudahan melalui isi buku ini kita bisa belajar banyak mengenai masa lalu, perjuangan hidup, dan lain-lain.

TERJUAL